Thursday, July 27, 2017

Keterbatasan

Pahlawan bukanlah manusia super. la tidak bisa menjadi segalanya, juga tidak dapat melakukan semuanya. Akan tetapi, inilah perkara mentalitas yang paling rumit yang dirasakan setiap pahlawan; menyadari dan menerima dengan lapang dada keterbatasan dirinya.

Mungkin itu salah satu sebabnya Rasulullah saw mengeluarkan sebuah sabda yang menyejukkan dada mereka, "Allah akan merahmati seseorang yang mengetahui kadar kemampuan dirinya." Bukan hal yang mudah untuk menyadari dua hal yang antagonis; kehebatan dan keterbatasan, kebanggaan dan kerendahan hati.


Itulah yang dialami Jenderal Mc.Arthur. Lelaki gagah berani dan ahli strategi ini adalah pahlawan perang terbesar dalam sejarah Amerika. Dialah panglima perang Amerika yang memenangkan hampir semua pertempuran di kawasan pasifik, termasuk penaklukan Jepang, selama tahun-tahun panjang Perang Dunia Kedua. Walaupun sempat menderita beberapa kekalahan, khususnya pada beberapa pertempuran di semenanjung Korea saat menghadapi aliansi Korea Utara, China, dan Uni Soviet, tetapi semua itu tidak mengurangi kebesarannya.

Pahlawan Kejayaan

Jika kecemasan merupakan kekuatan utama yang menggerakkan para pahlawan kebangkitan, maka kekuatan apakah yang paling agresif menggerakkan para pahlawan di jaman kejayaan? Jawabannya adalah obsesi kesempurnaan. Penjelasannya seperti ini: Pada jaman kejayaan suatu peradaban, kondisi kehidupan masyarakat sudah relatif stabil; ada pemerintahan yang kuat, ada pertahanan dan keamanan yang stabil, ada kemakmuran yang merata secara relatif, ada tingkat kesehatan dan pendidikan yang baik, dan seterusnya. Masyarakat tidak lagi berpikir pada lingkaran kebutuhan pokok dan logistik dasarnya. Karena itu, ada ketenangan, dan dalam ketenangan itu muncul kecenderungan untuk memenuhi kebutuhan intelektual dan spiritual.


Selain dilatari oleh sistem pemenuhan kebutuhan manusia secara bertahap, pengembangan intelektual juga merupakan kesinambungan yang niscaya dari mata rantai perkembangan sebuah peradaban. Lihatlah sejarah Islam misalnya. Perkembangan ilmu pengetahuan yang sangat pesat terjadi pada abad kedua, ketiga, dan keempat. Pada abad pertama energi kaum muslimin tercurah untuk proses kebangkitan awal.

Ini juga yang terjadi di Eropa; masa kebangkitan peradaban dari masa keterpurukan di abad pertengahan terjadi setelah Perang Salib pada abad ketigabelas hingga abad ketujuhbelas. Setelah itu, peradaban Eropa mengalami masa kejayaan pada abad kedelapanbelas hingga abad duapuluh. Cerita abad duapuluhsatu mungkin akan sangat berbeda. Perkembangan ilmu pengetahuan paling pesat terjadi pada tiga abad terakhir ini.

Sunday, July 23, 2017

Pahlawan Kebangkitan

Hubungan saling menghidupkan dan saling mematikan antara pahlawan dan lingkungannya, antara tokoh dan peradabannya akan melahirkan kenyataan ini: dalam sejarah setiap peradaban, sebagian besar pahlawan muncul pada dua potongan masa, satu pada masa kebangkitan, dan satu lagi pada masa kejayaan. Setelah itu, datanglah masa keruntuhan: jaman kevakuman, jaman tanpa pahlawan, dan jaman peradaban yang mandul.


Apakah yang terjadi pada jaman kebangkitan ? Apa pula yang terjadi pada jaman kejayaan? Marilah terlebih dahulu kita memeriksa kenyataan sosial masyarakat manusia pada masa kebangkitannya.

Kekuatan utama yang menggerakkan masyarakat pada masa kebangkitan adalah kecemasan. Inilah mata air yang memberikan mereka energi untuk bergerak dan bergerak, melangkah tertatih-tatih sembari jatuh dan bangun, meraba dalam ketidakpastian. Namun, mereka bergerak. Mereka semua dirundung kecemasan; karena jarak yang terbentang jauh antara idealisme dan realitas, antara harapan dan kenyataan.

Mereka 'merasakan' jarak yang terbentang jauh itu, maka mereka menjadi cemas, dan kecemasan itulah yang menggerakakan mereka. Boleh jadi, sebuah bangsa terjajah dan menderita, tetapi mereka 'tidak merasakannya', maka mereka tidak cemas, maka mereka tidak bergerak.

Muara Peradaban

Jika para pahlawan adalah anak jaman mereka, maka tentulah mereka membutuhkan potongan-potongan zaman yang merangsang munculnya kepahlawanan mereka. Ada banyak orang baik yang lahir dan mati tanpa pernah menjadi pahlawan; karena ia lahir pada jaman yang lesu, dimana hampir semua perempuan seakan mandul atau enggan melahirkan pahlawan.


Begitulah awalnya kesaksian kita; ada banyak potongan zaman yang kosong dari para pahlawan. Jaman kevakuman, jaman tanpa pahlawan. Pada potongan jaman seperti itu mungkin ada orang yang berusaha menjadi pahlawan; tetapi usaha itu seperti sebuah teriakan di tengah gurun; gemuruh sejenak, lalu lenyap ditelan sunyi gurun.

Itulah yang terjadi pada saat sebuah peradaban sedang terjun bebas menuju kehancuran atau keruntuhannya. Ambillah contoh setting sejarah Islam kembali. Setelah berakhirnya kekuasaan Daulatul Muwahhidin dan Daulatul Murobithin di kawasan Afrika Utara pada penghujung milenium hijriah pertama, sulit sekali menemukan nama besar dalam sejarah Islam. Siapakah pahlawan Islam yang kita kenal dari generasi abad kesebelas dan keduabelas hijriyah ? Saat itu bertepatan dengan abad kedelapanbelas dan kesembilanbelas hijriyah. Saat itulah, penjajahan Bangsa Eropa atas dunia Islam terjadi.

Saturday, July 22, 2017

Nila

Didorong oleh keluguan dan ketulusan, masyarakat biasanya menghargai para pahlawannya dengan cara yang berlebihan. Itu merupakan godaan berat bagi para pahlawan, di mana mereka sering merasa memiliki "hak prerogatif' untuk menikmati semua kemurahan masyarakat untuk dirinya. Godaan itu yang telah menjerumuskan banyak pahlawan ke dalam lumpur kenistaan, dimana mereka melakukan tindakan-tindakan yang tidak terhormat, merendahkan martabat sendiri, bahkan seperti nila, ia merusak semua telaga kepahlawanan yang ia ciptakan sendiri.


Kenyataan seperti ini paling banyak kita dapatkan dalam masyarakat paternalistik. Di sini orang-orang dengan mudah mendewakan para pahlawan. Dan para pahlawan dengan mudah mengidentifikasi diri sebagai sang dewa, dengan segala hak prerogatifnya. Termasuk melakukan berbagai tindakan tercela, namun tetap tampak terhormat di mata masyarakat.

Masyarakat paternalistik tidak memiliki kaidah yang pasti dalam mendewakan seseorang, sama seperti ia tidak mempunyai kaidah yang jelas dalam menistakan seseorang. Dalam masyarakat seperti ini, ketulusan bercampur baur dengan keluguan, keikhlasan bersahabat dengan kebodohan, dan semangat bertemu padu dengan kelatahan. Semua tindakannya cenderung ekstrem; cepat mendewakan, cepat pula mematikan. Dan semuanya dilakukan tanpa kaidah yang pasti dan jelas.

Bayangan Sang "Icon"

Kadang-kadang, pada suatu masa yang sama, dua orang pahlawan muncul secara bersamaan, pada bidang yang sama, tetapi dengan kadar kepahlawanan yang relatif berbeda. Salah satu di antara keduanya biasanya mengalami prows "iconisasi ", atau "simbolisasi ", dimana ia dianggap sebagai simbol dari zaman dan genrenya.


Pada masyarakat yang sudah dewasa dan matang, proses iconisasi itu biasanya tidak berlanjut dengan proses sakralisasi. Umumnya mereka mengerti sang icon bukanlah segalanya. la hanyalah bagian dari sebuah karya bersama, sebuah kepahlawanan kolektif. Karena itu, setiap pahlawan tetap mendapatkan tempatnya yang layak dan terhormat, sebab masyarakat mereka cukup dewasa untuk menilai karya mereka secara objektif dan proporsional.

Namun, itu tidak terjadi dalam masyarakat yang belum dewasa dan matang, apalagi dalam masyarakat yang jumlah pahlawannya masih sangat sedikit. Simbol adalah bentuk penyederhanaan terhadap suatu makna yang abstrak. Kebutuhan akan simbol dalam masyarakat yang belum dewasa dan matang merupakan kebutuhan psiko-sosial yang sangat mendasar. Karena itu, kecenderungan untuk menyimbolkan suatu makna, misalnya perlawanan, pada sesosok tokoh, atau kecenderungan untuk meng "icon"kan sang tokoh, merupakan tradisi pada masyarakat tersebut.

Ambillah contoh masyarakat kita. Soekarno, misalnya, hingga kini selalu dilukiskan sebagai "icon" revolusi kemerdekaan Indonesia. Padahal sebenamya, ada begitu banyak pahlawan yang memberikan kontribusi yang boleh jadi lebih besar, atau sama besarnya, dengan kontribusi yang diberikan Soekarno. Namun, di tengah masyarakat yang belum dewasa dan matang, Soekarno memang mendapatkan berkah ketidakdewasaan itu, yaitu dalam bentuk sikap sakralisasi.

Pusat Keunggulan

Para pahlawan mengajarkan sebuah kaidah kepada kita; seseorang hanya akan menjadi besar dan meledak sebagai pahlawan, jika ia bekerja secara optimal pada kompetensi intinya. Sebab, pekerjaan-pekerjaan yang kita tuntaskan yang kemudian membuat kita dicatat sebagai pahlawan, akan dijadikan mudah oleh Allah SWT karena la memang meyiapkan kita untuk pekerjaan itu.


Akan tetapi, sebenarnya tidak ada manusia yang dapat menemukan seluruh potensi yang terpendam dalam dirinya sekaligus. Seperti tambang yang tersembunyi di perut bumi, setiap kita membutuhkan waktu yang panjang untuk mengeksplorasi, menemukan, baru kemudian menggali dan mengeksploitasinya.

Sebelum diakhiri oleh kematian, setiap potensi yang kita temukan dalam diri kita tidak pernah bersifat final. Yang bisa kita lakukan adalah membuat model-model analog, misalnya peta, yang dapat menghampiri gambaran keseluruhan potensi diri kita. Karena itu, pencarian tidak boleh berhenti. Proses pemotretan dan pemetaan harus terus berlanjut. Kita hanya harus memastikan, bahwa semua potensi yang telah kita temukan langsung terpakai secara maksimal. Inilah konsep yang disebut sebagai pengenalan berkesinambungan.

Namun, di sini muncul sebuah pertanyaan,
"Bagaimana cara mengetahui, pada akhirnya bahwa inilah kompetensi inti kita, atau bahwa inilah pusat keunggulan kita?"

Menanti Kematangan

Ada dua kutub yang bergerak diam-diam, merangkak perlahan untuk saling bertemu, pada suatu masa tertentu, di tempat tertentu, dalam suasana dan kondisi tertentu. Itulah ledakan kepahlawanan. Kutub pertama bergerak dari dalam diri, di mana seorang pahlawan mengalami proses pematangan internal. Kutub kedua bergerak dari luar, dimana situasi dan kondisi lingkungan mengalami proses pematangan eksternal. Ledakan kepahlawanan terjadi ketika kedua kutub itu mencapai kematangannya.


Menanti saat-saat kematangan seorang pahlawan sama seperti menanti kematangan buah di pohon. Jika Anda memetiknya sebelum waktunya, buah itu tidak akan terlalu lezat. Namun, jika anda memetiknya tepat pada waktu kematangannya, maka anda akan merasakan kelezatan yang tiada tara.

Sultan Murad telah mengangkat puteranya, Muhammad, yang kemudian dikenal dengan nama Muhammad Al-Fatih Murad, sebagai raja ketika ia masih berusia 16 tahun. Saat itu, kerajaan mengalami goncangan instabilitas yang hebat di dalam negeri. Pemuda yang berbakat itu ternyata belum saatnya memimpin.

Akhirnya, sang ayah mengambil alih kepemimpinan dari sang putera. Akan tetapi, proses pematangan ternyata hanya membutuhkan waktu beberapa tahun lamanya. Di atas usia 20 tahun, Muhammad Al-Fatih kembali memimpin. Tepat ketika ia berusia 23 tahun, sang pahlawan telah mewujudkan mimpi 8 abad umat Islam; mimpi membebaskan Konstantinopel.

Pewarisan

Meskipun biasanya para pahlawan muncul dari keluarga pahlawan, tetapi selalu ada pengecualian. Kepahlawanan ternyata tidak selalu terwariskan kepada anak cucu. Sebab, ada kaidah lain, yaitu kaidah pergiliran, atau yang dalam AI-Qur'an disebut dengan istilah "mudawalah".


Allah SWT memberikan kemenangan dan kekalahan kepada setiap bangsa secara bergiliran. Demikian juga dalam sejarah setiap bangsa, masing-masing suku mendapat giliran. Dan dalam setiap suku masing-masing keluarga mendapatkan gilirannya. Kaidah mudawalah ini pula yang menjelaskan mengapa keluarga para pahlawan mengalami proses jatuh bangun dalam sejarah mereka.

Namun, sesungguhnya di sini juga tersimpan rahasia keadilan Allah SWT. Bukankah akan tampak tidak adil, jika misalnya Allah SWT telah menciptakan manusia dari berbagai keluarga, suku dan bangsa, tetapi kemudian memberikan kehormatan sebagai pahlawan hanya kepada beberapa keluarga, suku atau bangsa ?

Wednesday, July 19, 2017

Keluarga Pahlawan

Perenungan yang mendalam terhadap sejarah akan besar; kita dengan satu kenyataan besar bahwa sejarah sesungguhnya merupakan industri para pahlawan. Pada skala peradaban, kita menemukan bahwa setiap bangsa mempunyai gilirannya untuk merebut piala kepahlawanan. Di dalam komunitas besar sebuah bangsa, kita juga menemukan bahwa suku-suku tertentu saling bergiliran merebut piala kepahlawanan. Dan dalam komunitas suku-suku itu, kita menemukan bahwa keluarga-keluarga atau klan-klan tertentu saling bergiliran merebut piala kepahlawanan itu.


Bangsa Arab, misalnya, pernah merebut piala peradaban. Akan tetapi, dari sekian banyak suku-suku Bangsa Arab, suku Quraisy adalah salah satu suku yang pernah merebut piala itu. Dan dari perut suku Quraisy, yaitu dari keluarga Bani Hasyim, darimana Rasulullah saw berasal, adalah salah satu klan yang pernah merebut piala itu.

Pada saat sebuah keluarga atau klan melahirkan pahlawan-pahlawan bagi suku atau bangsanya, maka biasanya dalam keluarga itu berkembang nilai-nilai kepahlawanan yang luhur, yang diserap secara natural oleh setiap anggota keluarga begitu ia mulai menghirup udara kehidupan. Kepahlawanan dalam klan para pahlawan biasanya terwariskan melalui faktor genetik, dan juga pewarisan atau sosialisasi nilai-nilai kepahlawanan itu. Apabila seorang pahlawan besar muncul dari sebuah keluarga, biasanya pahlawan itu secara genetis mengumpulkan semua kebaikan yang berserakan pada individu-individu yang ada dalam keluarganya.

Karunia Kegagalan

Kehidupan ini, sebenarnya lebih mirip pelangi ketimbang sebuah foto hitam putih. Setiap manusia akan merasakan begitu banyak warna kehidupan. la mungkin mencintai sebagian warna tersebut. Akan tetapi, ia pasti tidak akan mencintai semua warna itu.



Demikian pula dengan perasaan kita. Semua warna kehidupan yang kita alami, akan kita respon dengan berbagai jenis perasaan yang berbeda-beda. Maka, ada duka di depan suka, ada cinta di depan benci, ada harapan di depan cemas, ada gembira di depan sedih. Kita merasakan semua warna perasaan itu, sebagai respon kita terhadap berbagai peristiwa kehidupan yang kita hadapi.

Seseorang menjadi pahlawan, sebenarnya disebabkan sebagiannya oleh kemampuannya mensiasati perasaan-perasaannya sedemikian rupa, sehingga ia tetap berada dalam kondisi kejiwaan yang medukung proses produktivitasnya.

Misalnya, ketika kita menghadapi kegagalan. Banyak orang yang lebih suka mengutuk kegagalan dan menganggapnya sebagai musibah dan cobaan hidup. Kita mungkin tidak akan melakukan itu seandainya di dalam diri kita ada kebiasaan untuk memandang berbagai peristiwa kehidupan secara objektif, ada tradisi jiwa besar, ada kelapangan dada, dan pemahaman akan takdir yang mendalam.

Tekanan

Tidak ada orang yang menyukai tekanan. Semua kita akan selalu berusaha menghindari segala bentuk tekanan hidup. Tekanan mencabut kenyamanan hidup kita, dan dalam banyak hal, membatasi ruang gerak kita, dan menyulitkan proses kreativitas kita.

Namun, sejarah justru membuktikan bahwa karya-karya kepahlawanan sebagian besarnya malah lahir di tengah tekanan-tekanan hidup yang berat dan kompleks. Sejarah tampaknya tidak ingin memberikan gelar kepahlawanan dengan mudah. la memaksa setiap orang membayar harga yang mahal untuk itu.



Kenyataan sejarah itu sebenarnya dapat dijelaskan. Tekanan-tekanan hidup, secara psikologis, sebenarnya justru berguna untuk merangsang munculnya potensi-potensi yang terpendam dalam diri seseorang dan merangsang terjadinya proses kreativitas yang intensif. Hidup dalam situasi yang normal biasanya malah membuat orang jadi malas, kurang kreatif, dan kurang produktif. Bukan situasi normal itu yang jadi masalah. Akan tetapi, manusia memang pada dasarnya membutuhkan stimulan yang kuat untuk bergerak. Dan tekanan hidup merupakan salah satu stimulan itu.

Jebakan Massa

Para pahlawan mukmin sejati selalu mempunyai penglihatan mata hati yang tajam, yang senantiasa membantunya memantau dan mendeteksi setiap jebakan yang dapat menghancurkan kepahlawanannya, atau mengalihkan arah hidupnya dari jalan kepahlawanan.



Karya-karya besar, atau sukses-sukses besar yang menyejarahkan seorang pahlawan adalah gabungan karya-karya kecil, atau sukses-sukses kecil yang terakumulasi di sepanjang jalan hidup seorang pahlawan. Proses menyejarah, dengan demikian, menemukan kenunitan yang kompleks pada dimensi waktu, terutama ketika ia berhubungan dengan persoalan konsistensi, atau pada penilaian yang kita lakukan terhadap karya-karya kita sendiri.

Dalam kerangka itulah, seorang pahlawan mukmin sejati harus mempertajam penglihatan mata hatinya, agar setiap saat ia dapat mendeteksi setiap jebakan secara dini. Salah satu jebakan itu adalah tipuan massa. Jebakan massa tidak saja terletak pada sikap kagum yang berlebihan yang membuat seorang pahlawan berhenti berkarya karena terlalu cepat merasa puas. Jebakan itu juga tidak saja terletak pada sikap kritis mereka yang berlebihan yang membuat seorang pahlawan berhenti berkarya karena merasa tertolak atau tidak diterima. Namun, jebakan massa juga menyimpan godaan dalam cara kita menilai mereka, dan padagodaan-godaan mereka kepada kita untuk bertindak lebih jauh, namun tidak rasional.

Suatu saat Khalid bin Walid digoda oleh pengagumnya di Negeri Syam untuk memberontak melawan Pemerintahan Umar di Madinah. Itu untuk membalas dendam Khalid bin Walid setelah dipecat Umar dari jabatan sebagai panglima perang. Tentu saja, ajakan itu sangat menggoda, bukan saja karena secara psikologis Khalid memang terluka, tetapi juga karena secara de facto kemampuan untuk memberontak memang ada.

Kepahlawanan Kolektif

Ada satu kesalahan yang sering kita lakukan ketika membaca biografi para pahlawan. Kita selalu membayangkan bahwa para pahlawan itu relative berbeda dengan orang-orang biasa. Bayangan itu tidak sepenuhnya salah. Namun, biasanya anggapan itu menjadi salah ketika sebuah karya sejarah kemudian dinisbatkan secara latah kepada satu orang pahlawan, padahal sebenarnya pahlawan yang kita elu-elukan itu mungkin hanya memberikan sentuhan akhir.



Dalam pembacaan seperti ini, ada banyak peran dan pelaku sejarah yang terlupakan, atau mengalami semacam marginalisasi sejarah. Misalnya, ketika kita menempatkan Shalahuddin al-Ayyubi sebagai tokoh kunci, yang relatif bersifat tunggal, dalam menghadapi Pasukan Salib. Padahal, Pasukan Salib telah menguasai Al-Quds selama sekitar 90 tahun, dan sepanjang tahun-tahun itu ada banyak perlawanan di sana sini. Ada banyak gerakan dakwah dan penyadaran sosial, ada banyak tokoh yang turut mengkondisikan situasi kemenangan, yang kemudian diselesaikan secara gemilang oleh Sholahuddin Al-Ayyubi. Yang disebut terakhir ini bahkan sebenarnya berasal dari Pasukan Mahmud Nuruddin Zanki, yang menguasai wilayah Syam, sebelum kemudian pindah ke Mesir dan memulai segalanya dari sana. Jadi, kemenangan dalam Perang Salib adalah karya beberapa generasi, bukan karya Sholahuddin Al-Ayyubi sendiri.

Perang `Ain Jalut yang melegendakan Muzaffar Quthuz karena berhasil merontokkan sekaligus menghancurkan serangan Pasukan Tartar, juga didahului oleh prakondisi sosial politik, yang memungkinkan kemenangan itu diraih. Ada ulama seberani Izzuddin bin Abdissalam yang mengkondisikan masyarakat Syam sebelum kemudian bergabung dengan pasukan Islam di Mesir dalam menghadapi Tartar. Beliau memang memenangkan pertempuran itu. Itu bukan hanya karya pribadinya. Itu merupakan karya bersama beberapa generasi.

Monday, July 10, 2017

Sukses Kecil ke Sukses Besar

Tiga komandan pasukan dalam Perang Mu'tah itu berguguran sebagai syuhada, Zaid Bin Haritsah, Ja'far Bin Abi Thalib, dan Abdullah Bin Rawahah. Pasukan muslim yang berjumlah sekitar 3000 orang memang tampak tidak seimbang ketika harus berhadapan dengan 200.000 orang dari Pasukan Romawi yang dipimpin langsung oleh raja mereka, Heraclius.



Kelihatannya, Rasulullah saw sudah meramalkan kejadian itu. Maka, beliau berpesan kepada pasukan ini, apabila ketiga komandan mereka gugur, maka mereka harus memilih seorang komandan baru di antara mereka. Dan yang dipilih oleh kaum muslimin ketika itu adalah Khalid Bin Walid.

Akan tetapi, apakah yang kemudian dilakukan Khalid Bin Walid ? Beliau justru menarik mundur pasukannya ke Madinah. Penduduk Madinah tidak dapat memahami strategi ini. Maka, anak-anak mereka melempari Pasukan Khalid, karena menganggap mereka pengecut dan meninggalkan peperangan. Namun, Rasulullah saw justru memberi gelar kepada Khalid sebagai "Saefullah al-Maslul" (Pedang Allah yang Senantiasa Terhunus).

Apresiasi

Para pahlawan mukmin sejati menyimpan kelembutan di dalam hatinya: yang membuat nuraninya senantiasa bergetar setiap kali ia menyaksikan berbagai peristiwa kehidupan yang mengharu biru; yang membuat semangatnya menggelora setiap kali ia menghadapi tantangan dan panggilan kepahlawanan; yang membuat kesedihannya menyayat jiwa setiap kali ia menyaksikan kezaliman, kepapaan dan kenestapaan; yang membuat kerinduannya mendayu-dayu setiap kali ia diingatkan pada cita-citanya.

Kelembutan jiwa membuat para pahlawan mukmin sejati senantiasa terpaut dalam pusaran kehidupan, terlibat di kedalaman batinnya, merasakan sentuhan alam, mendengar jeritan nurani kemanusiaan, dan memahami harapan-harapannya. Itulah sebabnya mereka selalu terjalin secara emosional dengan kehidupan yang mereka lalui. Mereka merasakan setiap detik dari perjalanan hidup mereka.



Intinya, kelembutan jiwa memberikan mereka kemampuan mengapresiasi kehidupan secara baik dan intens. Inilah, agaknya, rahasia yang menjelaskan sebuah fenomena yang unik, yaitu hubungan yang intens antara para pahlawan mukmin sejati dengan puisi dan sastra secara umum.

Pahlawan Melankolik

Kemanjaan. Itu sifat yang natural yang banyak ditemukan dalam kehidupan pribadi pahlawan mukmin sejati. Akan tetapi, itu berbeda dengan sifat melankolik, semacam kelemahan emosional yang membuat seorang pahlawan terkalahkan oleh dorongan-dorongan emosinya, seperti cinta dan benci, yang setiap saat dapat mengalihkan arah hidupnya. Di sini, cinta itu tidak menjadi sumber energi jiwa, tetapi berubah menjadi beban yang boleh jadi dapat mencabut karunia kepahlawanan yang telah disiapkan untuknya.



Tampaknya inilah rahasia besar di balik peringatan Allah SWT dalam Al-Quran, bahwa istri, anak-anak, orang tua, atau siapa saja yang kita cintai, setiap saat dapat menjadi musuh bagi kita. Mungkin, bukan dalam bentuk permusuhan langsung, tetapi bisa juga dalam bentuk cinta yang berlebihan, yang berkembang sedemikian rupa menjadi ketergantungan jiwa.

Cinta seperti itu pasti tidak akan menjadi sumber energi dan kekuatan jiwa. la akan menjadi sumber kecemasan dan ketakutan. Kecantikan sang istri akan berubah menjadi ancaman yang membuat kita ngeri membayangkan perpisahan. Tidak akan pernah ada karya besar yang lahir dari jiwa yang tergantung pada emosi-emosinya sendiri, yang takluk pada perasaanperasaannya sendiri, walaupun itu bernama cinta.

Saturday, July 1, 2017

Kemanjaan

Jika kita hanya membaca biografi pahlawan, atau mendengar cerita kepahlawanan dari seseorang yang belum pernah kita lihat, barangkali imajinasi yang tersusun dalam benak kita tentang pahlawan itu akan berbeda dengan kenyataannya. Itu berlaku untuk lukisan fisiknya, juga untuk lukisan emosionalnya.

Abul Hasan Ali Al-Hasani Al-Nadwi, yang tinggal di anak Benua India, telah membaca tulisan-tulisan Sayyid Quthub, yang tinggal di Mesir. Tulisan-tulisannya memuat gagasan-gagasan yang kuat, solid, atraktif, berani, dan terasa sangat keras. Barangkali bukan merupakan suatu kesalahan, bila dengan tanpa alasan kita membuat korelasi antara tulisan-tulisan itu dengan postur tubuh Sayyid Quthub. Penulisnya, seperti juga tulisannya, pastilah seorang laki-laki bertubuh kekar, tinggi, dan besar. Itulah kesan yang terbentuk dalam benak Al-Nadwi. Akan tetapi, ketika ia berkunjung ke Mesir, ternyata ia menemukan seorang laki-laki dengan perawakan yang kurus, ceking, dan jelas tidak kekar.



Begitu juga dengan potret emosi seorang pahlawan Kadang-kadang, ketegaran dan keberanian para pahlawan membuat kita berpikir bahwa mereka sama sekali tidak mempunyai sisi-sisi lain dalam dirinya, yang lebih mirip dengan sisi-sisi kepribadian orang-orang biasa. Misalnya, kebutuhan akan kemanjaan.

Umar Bin Khattab mengajar sesuatu yang lain, ketika beliau mengatakan, "Jadilah engkau seperti seorang bocah di depan istrimu." Laki-laki dengan postur tubuh yang tinggi, besar, putih, dan botak itu, yang dikenal keras, tegas, berani, dan tegar, ternyata senang bersikap manja di depan istrinya.

Thursday, June 15, 2017

Setelah Legenda

Ahmad Syah Masoud. Singa Lembah Panshir itu adalah legenda yang tak terlupakan dalam sejarah jihad di Afghanistan. Ada banyak bintang di langit jihad Afghanistan saat para mujahidin yang papa mengusir Pasukan Beruang Merah Uni Soviet dari negeri mereka, atau bahkan menjadi sebab keruntuhan imperium itu beberapa tahun kemudian, tetapi bintang Ahmad Syah Masoud, mungkin yang paling terang di antara semua bintang.



Ketika beliau syahid beberapa waktu lalu, dipenggalan terakhir dari pemerintahan Taliban, atau sebelum invasi Amerika ke bumi jihad itu, kita semua mempunyai alasan untuk menitikkan air mata kesedihan. Sekali lagi, kesedihan. Sebagaimana kesedihan yang dirasakan wanita-wanita Madinah ketika mereka mendengar berita kematian Khalid bin Walid di Syam. Sebab, orang-orang seperti mereka itu memang layak ditangisi. Sebab, tidak banyak wanita yang bisa melahirkan laki-laki seperti mereka.

Akan tetapi, disini terdapat sebuah petuah: bahwa legenda kepahlawanan boleh jadi sudah tertulis, sebelum pahlawannya sendiri mati; bahwa pahlawan itu telah mencapai puncak karyanya, sebelum ia mati. Sebab, kepahlawanan bukanlah puncak karya yang ditulis sepanjang hayat. la ditulis hanya sesaat dalam hidup, tidak terlalu lama, tetapi maknanya melampaui usia kita, atau bahkan generasi kita, atau bahkan beberapa generasi kemudian.

Seni Ketidakmungkinan

Sejarah kepahlawanan tidaklah ditulis dengan mulus. Para pahlawan mukmin sejati tidak selalu menghadapi situasi dan peristiwa yang mereka inginkan. Kita mungkin akan lebih kuat apabila situasi dan peristiwa yang tidak kita inginkan itu sudah kita duga sebelumnya, sehingga ada waktu yang memadai untuk melakukan antisipasi.

Akan tetapi, apa yang akan dilakukan para pahlawan mukmin sejati apabila mereka menghadapi situasi dan peristiwa yang tidak mereka inginkan dan tanpa mereka duga sebelumnya ? Ini jelas berbeda dengan situasi sebelumnya. Di sana kita mempunyai waktu yang memadai untuk melakukan antisipasi, tetapi di sini kita tidak mempunyai waktu itu. 



Di sana secara psikologis kita akan lebih siap, tetapi di sini kita tidak terlalu siap. Namun, saat-saat seperti ini akan selalu terulang dalam kehidupan para pahlawan mukmin sejati. Saat-saat seperti ini merupakan saat-saat paling rumit dalam hidup mereka. Dan inilah salah satu momentum kepahlawanan dalam hidup mereka.

Siasat Pengalihan

Sumber energi penciptaan dalam diri kita terletak di kedalaman jiwa kita, yaitu sebuah wilayah kecil yang harus senantiasa terjaga ketat, itulah yang ingin saya sebut sebagai wilayah kegembiraan. Di sana tersimpan energi jiwa yang sangat dahsyat, itulah optimisme.

Optimisme adalah buah dari harapan. Dan harapan, kata Rasulullah saw adalah rahmat Allah SWT pada umatku. Jika bukan karena harapan, kata beliau lagi, niscaya takkan ada orang yang mau menanam pohon dan takkan ada ibu yang mau menyusui anaknya.



Optimisme adalah harapan yang matang, keyakinan dan kepercayaan pada waktu, atau tepatnya pada masa depan, yang menjelma jadi energi jiwa yang dahsyat. Dari sana para pahlawan mukmin sejati menemukan dorongan jiwa yang tak pernah habis, untuk terus bekerja dan bekerja, berkarya dan berkarya lagi. Optimisme adalah gelora jiwa, tetapi riak dan gelombangnya adalah kegembiraan.

Akan tetapi, tantangan yang paling berat bagi para pahlawan adalah saat mereka kehabisan energi tersebut, kehabisan optimisme, dan kehilangan kegembiraan jiwa. Disitulah waktu menjadi sangat mencekam, karena mereka harus melaluinya tanpa gairah.

Sinergi Kecerdasan

Pekerjaan-pekerjaan besar yang mempertemukan seorang pahlawan mukmin sejati dengan takdir kepahlawanannya, selalu melibatkan seluruh instrumen kepribadian sang pahlawan ketika is sedang melakoni pekerjaan tersebut. Pekerjaan-pekerjaan itu pastilah menyedot energi fisik, jiwa spiritual, dan pemikirannya.



Tidak ada pahlawan yang dapat menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan besar dengan hanya mengandalkan satu sumber energi. Misalnya, dengan hanya mengandalkan energi jiwa tanpa bantuan energi lainnya. Jadi, seorang pahlawan bekerja dengan keterlibatan penuh seluruh instrumen kepribadiannya.

Yang terjadi pada diri para pahlawan adalah bahwa seluruh instrumen itu biasanya mempunyai kontribusi yang sama, atau hampir sama, dalam proses menyukseskan kerja-kerja kepahlawanannya. Seluruh instrumen kepribadian itu mempunyai peranan yang sama urgen dan signifikannya dalam kesuksesan para pahlawan.

Wednesday, June 14, 2017

Jenak-Jenak Kejujuran

Hari-hari menjelang kedatangan Rasulullah saw dari Tabuk sangat menegangkan. Setidaknya, bagi Ka'ab bin Malik. Jika saja ia berada dalam rombongan Rasulullah, tentu lain ceritanya. Seperti biasa, setiap pulang dari perjalanan, Rasul lebih dulu ke masjid. Ternyata, sekitar 80-an munafik telah menunggu di sana. Mereka memohon kepada Rasulullah agar beliau meminta ampunan kepada Allah karena mereka tidak ikut perang. Mereka juga berharap Rasul sendiri mau memaafkan. Permintaan itu dikabulkan Rasul.


Akan tetapi, tiba-tiba wajah beliau berubah merah. Seulas senyum sinis tersungging, ketika Ka'ab bin Malik menemuinya. "Mengapa kamu tidak ikut ke Tabuk ? Bukankah kamu telah membeli kendaraan untuk itu ?" tanya Rasulullah. Wajar Rasulullah bersikap seperti itu. Ka'ab termasuk jajaran para sahabat terhormat, punya track record yang baik sebagai penulis wahyu, dan relatif tanpa cacat nama baik. Tidak ikut ke Tabuk menjadi sesuatu yang tak logis untuk ukuran seorang kader yang ditarbiyah oleh Rasul.

Ka'ab terdiam. la sudah menduga pertanyaan itu muncul. Itulah detik-detik penuh konflik dalam batinnya. Hal ini karena ia bermuamalah dengan Allah SWT dan berhadapan dengan Rasul Allah Bukan karena ia tak mampu beralasan. la bisa melakukannya. Sebab, seperti katanya sendiri, ia diberi kemampuan berargumentasi yang baik. Dalam situasi seperti ini, biasanya lahir dorongan untuk berdusta. Demi mempertahankan "air muka", atau "kebesaran", atau "kehormatan", atau "wibawa", atau "nama baik."

Sensitifitas Kepahlawanan

Sementara pahlawan mukmin sejati mempunyai pendengaran jiwa yang sangat peka. la dapat menangkap semua panggilan kepahlawanan, dari mana pun datangnya panggilan itu dan sekecil apa pun suara panggilan itu. Panggilan kepahlawanan itu senantiasa menciptakan getaran dalam jiwanya, getaran yang senantiasa menggodanya untuk mengepakkan sayap cita memenuhi panggilan itu.
Suatu ketika, Rasulullah saw mengatakan kepada sahabat-sahabatnya; Suatu saat Konstantinopel pasti akan dibebaskan, dan sebaik-baik pasukan adalah pasukan yang membebaskannya dan sebaik-baik komandan adalah komandan yang memimpin pembebasan itu. Demi mendengar sabda sang Rasul, para sahabat beliau segera bergegas mempersiapkan diri. Akan tetapi, hanya Abu Ayyub Al-Anshari yang langsung mengambil kudanya, menerjang gurun sahara, menempuh jalan panjang menuju Konstantinopel, seorang diri. Kota itu sendiri baru dibebaskan Kaum Muslimin delapan ratus tahun kemudian oleh Pasukan Utsmaniyah di bawah pimpinan seorang pemuda berusia 23 tahun, Muhammad Al-Fatih Murad. Akan tetapi, Abu Ayyub Al-Anshari telah mencatat namanya sendiri pada sebuah ruang sejarah kepahlawanan yang terhormat sebagai syahid pertama di jalan pembebasan itu.



Apakah beliau sempat membunuh musuh-musuh Allah dalam perjalanan itu ? Tidak ! Namun, posisi terhormat sebagai syahid pertama di jalan pembebasan itu telah menjadi hak sejarah beliau. Jadi, apa yang tepatnya telah beliau lakukan untuk itu? Yang beliau lakukan untuk itu adalah: memenuhi panggilan kepahlawanan itu di awal suara panggilan itu, menyatakan rindu yang jujur pada kehormatan menjadi syahid di awal senandung nada kepahlawanan itu, mengepakkan sayap cita menuju jalan pembebasan begitu sang Rasul menyelesaikan sabdanya.