Thursday, June 15, 2017

Setelah Legenda

Ahmad Syah Masoud. Singa Lembah Panshir itu adalah legenda yang tak terlupakan dalam sejarah jihad di Afghanistan. Ada banyak bintang di langit jihad Afghanistan saat para mujahidin yang papa mengusir Pasukan Beruang Merah Uni Soviet dari negeri mereka, atau bahkan menjadi sebab keruntuhan imperium itu beberapa tahun kemudian, tetapi bintang Ahmad Syah Masoud, mungkin yang paling terang di antara semua bintang.



Ketika beliau syahid beberapa waktu lalu, dipenggalan terakhir dari pemerintahan Taliban, atau sebelum invasi Amerika ke bumi jihad itu, kita semua mempunyai alasan untuk menitikkan air mata kesedihan. Sekali lagi, kesedihan. Sebagaimana kesedihan yang dirasakan wanita-wanita Madinah ketika mereka mendengar berita kematian Khalid bin Walid di Syam. Sebab, orang-orang seperti mereka itu memang layak ditangisi. Sebab, tidak banyak wanita yang bisa melahirkan laki-laki seperti mereka.

Akan tetapi, disini terdapat sebuah petuah: bahwa legenda kepahlawanan boleh jadi sudah tertulis, sebelum pahlawannya sendiri mati; bahwa pahlawan itu telah mencapai puncak karyanya, sebelum ia mati. Sebab, kepahlawanan bukanlah puncak karya yang ditulis sepanjang hayat. la ditulis hanya sesaat dalam hidup, tidak terlalu lama, tetapi maknanya melampaui usia kita, atau bahkan generasi kita, atau bahkan beberapa generasi kemudian.

Seni Ketidakmungkinan

Sejarah kepahlawanan tidaklah ditulis dengan mulus. Para pahlawan mukmin sejati tidak selalu menghadapi situasi dan peristiwa yang mereka inginkan. Kita mungkin akan lebih kuat apabila situasi dan peristiwa yang tidak kita inginkan itu sudah kita duga sebelumnya, sehingga ada waktu yang memadai untuk melakukan antisipasi.

Akan tetapi, apa yang akan dilakukan para pahlawan mukmin sejati apabila mereka menghadapi situasi dan peristiwa yang tidak mereka inginkan dan tanpa mereka duga sebelumnya ? Ini jelas berbeda dengan situasi sebelumnya. Di sana kita mempunyai waktu yang memadai untuk melakukan antisipasi, tetapi di sini kita tidak mempunyai waktu itu. 



Di sana secara psikologis kita akan lebih siap, tetapi di sini kita tidak terlalu siap. Namun, saat-saat seperti ini akan selalu terulang dalam kehidupan para pahlawan mukmin sejati. Saat-saat seperti ini merupakan saat-saat paling rumit dalam hidup mereka. Dan inilah salah satu momentum kepahlawanan dalam hidup mereka.

Siasat Pengalihan

Sumber energi penciptaan dalam diri kita terletak di kedalaman jiwa kita, yaitu sebuah wilayah kecil yang harus senantiasa terjaga ketat, itulah yang ingin saya sebut sebagai wilayah kegembiraan. Di sana tersimpan energi jiwa yang sangat dahsyat, itulah optimisme.

Optimisme adalah buah dari harapan. Dan harapan, kata Rasulullah saw adalah rahmat Allah SWT pada umatku. Jika bukan karena harapan, kata beliau lagi, niscaya takkan ada orang yang mau menanam pohon dan takkan ada ibu yang mau menyusui anaknya.



Optimisme adalah harapan yang matang, keyakinan dan kepercayaan pada waktu, atau tepatnya pada masa depan, yang menjelma jadi energi jiwa yang dahsyat. Dari sana para pahlawan mukmin sejati menemukan dorongan jiwa yang tak pernah habis, untuk terus bekerja dan bekerja, berkarya dan berkarya lagi. Optimisme adalah gelora jiwa, tetapi riak dan gelombangnya adalah kegembiraan.

Akan tetapi, tantangan yang paling berat bagi para pahlawan adalah saat mereka kehabisan energi tersebut, kehabisan optimisme, dan kehilangan kegembiraan jiwa. Disitulah waktu menjadi sangat mencekam, karena mereka harus melaluinya tanpa gairah.

Sinergi Kecerdasan

Pekerjaan-pekerjaan besar yang mempertemukan seorang pahlawan mukmin sejati dengan takdir kepahlawanannya, selalu melibatkan seluruh instrumen kepribadian sang pahlawan ketika is sedang melakoni pekerjaan tersebut. Pekerjaan-pekerjaan itu pastilah menyedot energi fisik, jiwa spiritual, dan pemikirannya.



Tidak ada pahlawan yang dapat menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan besar dengan hanya mengandalkan satu sumber energi. Misalnya, dengan hanya mengandalkan energi jiwa tanpa bantuan energi lainnya. Jadi, seorang pahlawan bekerja dengan keterlibatan penuh seluruh instrumen kepribadiannya.

Yang terjadi pada diri para pahlawan adalah bahwa seluruh instrumen itu biasanya mempunyai kontribusi yang sama, atau hampir sama, dalam proses menyukseskan kerja-kerja kepahlawanannya. Seluruh instrumen kepribadian itu mempunyai peranan yang sama urgen dan signifikannya dalam kesuksesan para pahlawan.

Wednesday, June 14, 2017

Jenak-Jenak Kejujuran

Hari-hari menjelang kedatangan Rasulullah saw dari Tabuk sangat menegangkan. Setidaknya, bagi Ka'ab bin Malik. Jika saja ia berada dalam rombongan Rasulullah, tentu lain ceritanya. Seperti biasa, setiap pulang dari perjalanan, Rasul lebih dulu ke masjid. Ternyata, sekitar 80-an munafik telah menunggu di sana. Mereka memohon kepada Rasulullah agar beliau meminta ampunan kepada Allah karena mereka tidak ikut perang. Mereka juga berharap Rasul sendiri mau memaafkan. Permintaan itu dikabulkan Rasul.


Akan tetapi, tiba-tiba wajah beliau berubah merah. Seulas senyum sinis tersungging, ketika Ka'ab bin Malik menemuinya. "Mengapa kamu tidak ikut ke Tabuk ? Bukankah kamu telah membeli kendaraan untuk itu ?" tanya Rasulullah. Wajar Rasulullah bersikap seperti itu. Ka'ab termasuk jajaran para sahabat terhormat, punya track record yang baik sebagai penulis wahyu, dan relatif tanpa cacat nama baik. Tidak ikut ke Tabuk menjadi sesuatu yang tak logis untuk ukuran seorang kader yang ditarbiyah oleh Rasul.

Ka'ab terdiam. la sudah menduga pertanyaan itu muncul. Itulah detik-detik penuh konflik dalam batinnya. Hal ini karena ia bermuamalah dengan Allah SWT dan berhadapan dengan Rasul Allah Bukan karena ia tak mampu beralasan. la bisa melakukannya. Sebab, seperti katanya sendiri, ia diberi kemampuan berargumentasi yang baik. Dalam situasi seperti ini, biasanya lahir dorongan untuk berdusta. Demi mempertahankan "air muka", atau "kebesaran", atau "kehormatan", atau "wibawa", atau "nama baik."

Sensitifitas Kepahlawanan

Sementara pahlawan mukmin sejati mempunyai pendengaran jiwa yang sangat peka. la dapat menangkap semua panggilan kepahlawanan, dari mana pun datangnya panggilan itu dan sekecil apa pun suara panggilan itu. Panggilan kepahlawanan itu senantiasa menciptakan getaran dalam jiwanya, getaran yang senantiasa menggodanya untuk mengepakkan sayap cita memenuhi panggilan itu.
Suatu ketika, Rasulullah saw mengatakan kepada sahabat-sahabatnya; Suatu saat Konstantinopel pasti akan dibebaskan, dan sebaik-baik pasukan adalah pasukan yang membebaskannya dan sebaik-baik komandan adalah komandan yang memimpin pembebasan itu. Demi mendengar sabda sang Rasul, para sahabat beliau segera bergegas mempersiapkan diri. Akan tetapi, hanya Abu Ayyub Al-Anshari yang langsung mengambil kudanya, menerjang gurun sahara, menempuh jalan panjang menuju Konstantinopel, seorang diri. Kota itu sendiri baru dibebaskan Kaum Muslimin delapan ratus tahun kemudian oleh Pasukan Utsmaniyah di bawah pimpinan seorang pemuda berusia 23 tahun, Muhammad Al-Fatih Murad. Akan tetapi, Abu Ayyub Al-Anshari telah mencatat namanya sendiri pada sebuah ruang sejarah kepahlawanan yang terhormat sebagai syahid pertama di jalan pembebasan itu.



Apakah beliau sempat membunuh musuh-musuh Allah dalam perjalanan itu ? Tidak ! Namun, posisi terhormat sebagai syahid pertama di jalan pembebasan itu telah menjadi hak sejarah beliau. Jadi, apa yang tepatnya telah beliau lakukan untuk itu? Yang beliau lakukan untuk itu adalah: memenuhi panggilan kepahlawanan itu di awal suara panggilan itu, menyatakan rindu yang jujur pada kehormatan menjadi syahid di awal senandung nada kepahlawanan itu, mengepakkan sayap cita menuju jalan pembebasan begitu sang Rasul menyelesaikan sabdanya.