Dulu Dianggap Pengemis Sekarang Bos
Keterbatasan fisik bukan
penghalang meraih kesuksesan. Paling tidak itulah yang tercermin pada Sugimun,
pemilik tiga unit toko elektronik “Cahaya Baru”
Suatu ketika Sugimun pergi
ke solo untuk membeli mobil. Ketika akan masuk ke sebuah shoowroom mobil,
seorang karyawan menghampirinya dan mengulurkan uang recehan kepadanya.
Diperlakukan seperti itu Sugimun segera menukas, “Oh, saya bukan pengemis, Mas.
Saya cari mobil.”
Tentu saja si karyawan
tersebut kaget dan cepat-cepat masuk ke dalam sambil menanggung malu.
Menurut Sugimun, si
karyawan mengira dirinya seorang pengemis karena menggunakan kursi roda, “Waktu
itu sopir saya sudah duluan masuk show room,” kenang Sugimun tersenyum.
Lelaki yang lahir tahu
1970, di dusun Mojopuro, Magetan, Jawa Timur ini adalah pemillik toko
elektronik “Cahaya Baru” di kota trenggalek dan Magetan, Jawa Timur.
Bagi orang Trenggalek ,
Magetan dan sekitarnya, nama toko itu sudah tidak asing lagi. “Cahaya Baru”
dikenal sebagai toko elektronik yang cukup besar. Omsetnya sudah mencapai 150
juta per bulan.
Sugimun memberi nama
tokonya dengan “Cahaya Baru”, dengan dimaksudkan untuk mewakili sebuah harapan
harapan baru bagi diri dan keluarganya,
Keberhasilan Sugimun
seperti sekarang tidak lepas dari usaha dan doa ibunya. Maklum, selain sejak
kecil cacat, Sugimun juga lahir dari keluarga miskin. Saking miskinnya, ia
tidak sempat mengenyam pendidikan formal. “Sekolah TK saja enggak pernah,”
kenangnya.
Perubahan kehidupan Sugimun
berawal pada usia 19 tahun. Ketika itu, seorang aparat desa beberapa orang dari
Dinas Sosial datang ke rumahnya. Mereka mengajak Sugimun mengikuti
program penyantunan dan rehabilitasi sosial dan penyandang cacat di Panti
Sosial Bina Daksa (PSDB) “Suryatama” di kota Bangil, Jawa Timur. Ditempat
tersebut Sugimun mengikuti bimbingan fisik, mental, serta pendidikan kejar
Paket A.
“Pada awalnya, saya merasa
rendah diri karena semua teman saya penyandang cacat memiliki pendidikan formal
mulai dari SD, SMP bahkan ada yang lulusan SMA,” kenangnya. Sedangkan dirinya
belum mengenal baca tulis.
Namun karena tekadnya untuk
bangkit dan tidak ingin bergantung pada orang lain, rasa rendah diri itu
dibuangnya jauh-jauh. Di Suryatama, ia belajar keterampilan elektronik seperti
radio, sound system, kipas angin, televise, dan lain sebagainya.” Katanya.
Setelah dua tahun mengikuti
program pelatihan, Sugimun kembali pulang kampung. Namun ia tidak punya
aktivitas di desanya. Akhirnya ia mencoba mencari kerja di tempat usaha servis
elektronik. Sayangnya, kebanyakan berujung pada penolakan. “Mungkin mereka
menilai saya tidak cukup mampu bekerja dengan baik karena kondisi fisik seperti
ini,” kenangnya,
Yang menyedihkan,
seringkali ia disangka pengemis saat melamar pekerjaan. Ia baru bisa bekerja
tatkala seorang teman di Kediri menerimanya sebagai karyawan sebuah bengkel
elektronik. Namun karena suatu alasan, tidak sampai satu tahun, ia memutuskan
untuk pulang kampung.
Ia pun mencoba melamar
pekerjaan di kota kelahirannya. Lagi-lagi ia kembali mendapatkan penolakan,
“Hal ini membawa saya pada kesimpulan bahwa saya harus membuka lapangan
pekerjaan untuk bisa bekerja,” katanya.
Berbekal Restu sang Ibu
Dengan kondisi ekonomi yang
serba sulit serta pengalaman yang ditolak berkali-kali membuat Sugimun nekad
berusaha sendiri. Berbekal restu sang ibu, tahun 1992 ia menjual perhiasan emas
milik ibunya senilai Rp. 15.000,-. Uang tersebut sebagian ia pakai untuk
menyewa lapak emperan pasar sayur Magetan. Di tempat yang kecil itu, ia membuka
usaha jasa servis elektronik dan menjual isi korek api. Dengan perlengkapan
seadanya, setiap hari ia melayani pelanggannya.
Untuk menjalankan usahanya,
Sugimun harus berjuang keras. Betapa tidak, jarak perjalanan dari rumah
ketempat usahanya sangatlah jauh. Dari desanya yang terpencil, ia harus
berjuang menempuh jarak satu kilometer untuk menuju ke tempat mangkal angkutan
umum yang akan membawanya ke kiosnya. Belum lagi jarak menuju pasar sayur.
Ditambah lagi naik-turun angkutan umum. Bagi orang fisiknya normal, hal itu
bukan masalah. Namun bagi Sugimun yang kakinya layuh (lumpuh) akibat polio,
terasa berat.
Usahanya itu juga terkadang
ramai, terkadang sepi. “Namun, saya tetap yakin Allah Maha Adil, Pengasih dan
Pemurah,”katanya.
Dengan penuh ketelatenan
dan kesungguhan, Sugimun berusaha meraih kepercayaan para pelanggan, terutama
dalam menepati janji. Ia berusaha keras untuk menyelesaikan pekerjaan tepat
waktu. Ia juga tidak pelit menjelaskan kepada pelanggannya tentang kerusakan
dan onderdil yang harus dibutuhkan, termasuk harga dan kualitas onderdil yang
bervariasi.
“Ternyata dengan cara seperti itu kepercayaan bisa didapatkan,”
katanya.
Kiosnya semakin sering
dikunjungi orang. Berarti, kebutuhan akan onderdil elektronik juga meningkat.
Peluang inilah yang ia
baca. Ia mulai menyisihkan uangnya untuk modal pembelian onderdil. sedikit demi
sedikit ia juga melengkapi kiosnya dengan barang elektronik. Karena semakin
lama barangnya kian banyak, akhirnya ia memberanikan diri membeli toko.
“Alhamdulillah ramai,” jelasnya. Kini ia telah memiliki tiga unit toko.
Meski kini menjadi orang
sukses, Sugimun tidak lupa terhadap keluarganya. Sebagai anak tertua dari
delapan saudara, ia merasa bertanggung jawab atas eberlangsungan pendidikan
adik-adiknya. Oleh karenanya, sebagian rezekinya ia gunakan untuk membantu
biaya pendidikan tiga orang adiknya, ia mangajak mereka untuk membantu
menjalankan toko elektroniknya. Ia berharap agar kelak, saudara-saudaranya yang
lain mampu mandiri. “Saya bahagia bisa menyekolahkan ketiga adik saya hingga
tamat SMU,” katanya.
Kebahagiaannya semakin
lengkap ketika ia menemukan jodohnya bernama Nursiam. Perempuan yang ia nikahi
itu kini memberinya tiga orang anak.
Selain itu, Sugimun juga
membantu orang-orang di daerah sekitarnya. Ia tidak membantu dalam bentuk uang,
melainkan berupa pemberian kesempatan pendidikan dan keterampilan. Ia membina
beberapa yatim dan anak cacat agar memiliki berbagai keterampilan yang berguna
bagi masa depan mereka kelak.
“Pengalaman masa lalu
membuat saya sadar, bahwa pendidikan dan keterampilan sangat berguna bagi
orang-orang seperti saya,” katanya sambil tersenyum. Ada tiga anak yatim cacat
yang kini ia asuh. Tidak banyak memang, tetapi paling tidak, ia telah berbuat
sesuatu untuk sesamanya.
Satu hal yang ia syukuri,
ia hanya cacat fisik, bukan cacat rohani. Cacat fisik yang ia alami tidak
membuatnya jatuh terpuruk mengharap belas kasih orang lain, melainkan sebagai
pelecut semangat untuk menggapai cita-cita mandiri. Kini, meski ia secara fisik
tidak sempurna, tetapi ia mampu berbuat lebih. Melebihi dari apa yang bisa
dilakukan oleh orang normal. “Ini semua rahasia Allah, bahwa orang cacat
seperti saya, diberi kemampuan untuk membantu orang lain,” katanya.
(Suara Hidayatullah, Edisi
1/XXVI/Mei 2013/Jumadil Ahir/1434)
Sumber: pengusahamuslim.com
No comments:
Post a Comment