Jika kita hanya membaca biografi pahlawan, atau mendengar cerita
kepahlawanan dari seseorang yang belum pernah kita lihat, barangkali imajinasi yang
tersusun dalam benak kita tentang pahlawan itu akan berbeda dengan kenyataannya.
Itu berlaku untuk lukisan fisiknya, juga untuk lukisan emosionalnya.
Abul Hasan Ali Al-Hasani Al-Nadwi, yang tinggal di anak Benua India,
telah membaca tulisan-tulisan Sayyid Quthub, yang tinggal di Mesir.
Tulisan-tulisannya memuat gagasan-gagasan yang kuat, solid, atraktif, berani,
dan terasa sangat keras. Barangkali bukan merupakan suatu kesalahan, bila
dengan tanpa alasan kita membuat korelasi antara tulisan-tulisan itu dengan postur
tubuh Sayyid Quthub. Penulisnya, seperti juga tulisannya, pastilah seorang
laki-laki bertubuh kekar, tinggi, dan besar. Itulah kesan yang terbentuk dalam benak
Al-Nadwi. Akan tetapi, ketika ia berkunjung ke Mesir, ternyata ia menemukan
seorang laki-laki dengan perawakan yang kurus, ceking, dan jelas tidak kekar.
Begitu juga dengan potret emosi seorang pahlawan Kadang-kadang,
ketegaran dan keberanian para pahlawan membuat kita berpikir bahwa mereka sama
sekali tidak mempunyai sisi-sisi lain dalam dirinya, yang lebih mirip dengan
sisi-sisi kepribadian orang-orang biasa. Misalnya, kebutuhan akan kemanjaan.
Umar Bin Khattab mengajar sesuatu yang lain, ketika beliau mengatakan,
"Jadilah engkau seperti seorang bocah di depan istrimu." Laki-laki
dengan postur tubuh yang tinggi, besar, putih, dan botak itu, yang dikenal keras,
tegas, berani, dan tegar, ternyata senang bersikap manja di depan istrinya.
Mungkin, bukan cuma Umar. Sebab, Rasulullah saw ternyata juga melakukan
hal yang sama. Adalah Khadijah tempat ia kembali saat kecemasan dan ketakutan
melandanya setelah menerima wahyu pertama. Maka, kebesaran jiwa Khadijahlah
yang senantiasa beliau kenang, dan yang memberikan tempat paling istimewa bagi
perempuan itu dalam hatinya, bahkan setelah beliau menikahi seorang perawan.
Akan tetapi, beliau juga sering berbaring dalam pangkuan Aisyah untuk disisiri
rambutnya, bahkan ketika beliau sedang i'tikaf di Bulan Ramadhan.
Itu mengajarkan kita sebuah kaidah; bahwa para pahlawan mukmin sejati
telah menggunakan segenap energi jiwanya untuk dapat mengukir legenda kepahlawanannya.
Namun, untuk itu mereka membutuhkan suplai energi kembali. Dan untuk
sebagiannya, energi itu berasal dari kelembutan dan kebesaran jiwa sang istri.
Kemanjaan itu, dengan demikian, barangkali memang merupakan cara para
pahlawan tersebut memenuhi kebutuhan jiwa mereka akan ketegaran, keberanian, ketegasan,
dan kerja-kerja emosi lainnya. Kepahlawanan membutuhkan energi jiwa yang
dahsyat, maka para pahlawan harus mengetahui dari mana mereka mendapatkan sumber
energi itu.
Petuah ini agaknya tidak pernah salah: "Di balik setiap laki-laki
agung, selalu berdiri seorang wanita agung." Dan mengertilah kita, mengapa
sastrawan besar Mesir ini, Musthafa Shadiq Al-Rafii, mengatakan, "Kekuatan
seorang wanita sesungguhnya tersimpan di balik kelemahannya
No comments:
Post a Comment