Kemanjaan. Itu sifat yang natural yang banyak ditemukan dalam kehidupan
pribadi pahlawan mukmin sejati. Akan tetapi, itu berbeda dengan sifat
melankolik, semacam kelemahan emosional yang membuat seorang pahlawan terkalahkan
oleh dorongan-dorongan emosinya, seperti cinta dan benci, yang setiap saat dapat
mengalihkan arah hidupnya. Di sini, cinta itu tidak menjadi sumber energi jiwa,
tetapi berubah menjadi beban yang boleh jadi dapat mencabut karunia kepahlawanan
yang telah disiapkan untuknya.
Tampaknya inilah rahasia besar di balik peringatan Allah SWT dalam
Al-Quran, bahwa istri, anak-anak, orang tua, atau siapa saja yang kita cintai,
setiap saat dapat menjadi musuh bagi kita. Mungkin, bukan dalam bentuk permusuhan
langsung, tetapi bisa juga dalam bentuk cinta yang berlebihan, yang berkembang
sedemikian rupa menjadi ketergantungan jiwa.
Cinta seperti itu pasti tidak akan menjadi sumber energi dan kekuatan
jiwa. la akan menjadi sumber kecemasan dan ketakutan. Kecantikan sang istri
akan berubah menjadi ancaman yang membuat kita ngeri membayangkan perpisahan.
Tidak akan pernah ada karya besar yang lahir dari jiwa yang tergantung pada
emosi-emosinya sendiri, yang takluk pada perasaanperasaannya sendiri, walaupun
itu bernama cinta.
Itulah sebabnya Abu Bakar Al-Shiddiq pernah menyuruh anaknya, Abdullah,
menceraikan istrinya. Itu karena beliau melihat bahwa anaknya terlalu mencintai
istrinya, dan cintanya telah berubah menjadi semacam ketergantungan.
Ketergantungan itu membuatnya takut berpisah dengan istrinya, bahkan walau
untuk sekadar melakukan shalat jamaah di masjid. Umar Bin Khattab juga pernah
menyuruh anaknya, Abdullah bin Umar, yang notabene merupakan satu dari tujuh
ulama besar di kalangan sahabat, untuk menceraikan istrinya, dalam kasus yang
sama.
Cinta adalah sumber kekuatan jiwa yang dahsyat. Akan tetapi,
ketergantungan adalah kelemahan jiwa yang fatal, yang dalam banyak hal
merupakan sumber kehancuran. Ada banyak pahlawan yang kehilangan momentum
kepahlawanannya karena kelemahan jiwa ini.
Maka, para pahlawan mukmin sejati selalu menanamkan sebuah tradisi dalam
dirinya: "Jagalah jarak tertentu terhadap siapa pun yang engkau cintai. Sebab,
kita tidak akan selalu bersamanya setiap saat. Takdir mungkin memisahkan kita
dengan orang-orang yang kita cintai setiap saat. Namun, perjalanan menuju kepahlawanan
tidak boleh berhenti."
Tradisi itu yang membuat para pahlawan mukmin sejati selalu mengontrol
pergerakan emosinya secara ketat. Mereka harus dapat mendeteksi secara dini
kapan saatnya cinta menjelma menjadi ketergantungan yang fatal. Suatu saat Imam
Syahid Hasan Al-Banna meninggalkan anaknya yang sedang sakit parah, atau mungkin
sekarat, untuk sebuah acara dakwah. Istrinya telah mendesaknya untuk
meninggalkan acara tersebut demi anaknya. Namun ia tetap pergi sembari berkata,
"Saya tidak akan pernah sanggup menyelamatkan anak ini, walaupun saya
tetap berada di sisinya." Toh anak itu masih tetap hidup hingga kini. Mungkin
ini bukan kasus yang dapat digeneralisasi. Namun, para pahlawan mukmin sejati
selalu dapat menangkap jenak-jenak yang rumit ketika ia akan mengukir legenda
kepahlawanannya.
No comments:
Post a Comment