Ketika perang dunia kedua
meletus tahun 1942, Soekarno
meramalkan bahwa kawasan pasifik pasti
akan menjadi medan tempur yang sengit. Semua
pihak pasti lelah. Belanda dan Jepang tidak akan mampu
mengurus tanah jajahannya. Dan, inilah kesempatan
emas untuk merdeka. Tahun 1945, Soekarno
memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, dan
Bangsa Indonesia pun menobatkannya sebagai pahlawan
nasional.
Menjelang setiap momentum
kepahlawanan selalu akan
ada sebuah pekerjaan berat: pengambilan keputusan.
Kelihatannya mudah untuk mengatakan bahwa
keputusan dapat diambil secara tepat manakala ada
informasi yang cukup dan akurat. Namun, itu dalam situasi
normal, sedang momentum kepahlawanan biasanya justru
muncul dalam situasi tidak normal. Dalam keadaan
seperti ini, rasionalitas menjadi tidak mandiri. Ada
kekuatan lain yang lebih menentukan: firasat. Ia hadir
di ujung rasionalitas, dan tangannyalah yang akan mengetuk
palu, setelah itu: Anda jadi pahlawan atau tidak
sama sekali.
Maka, di sini tersembunyi
sebuah perjudian, sebuah spekulasi:
sebab firasat menyerupai usaha peramalan yang
tidak mempunyai "dalil" selain dari keyakinan yang menumpuk dalam hati, kukuh, dan kuat.
Dalam ruang hati itu tidak ada
lagi tempat bagi keraguan, kegamangan,
dan kekhawatiran. Nasib digariskan di sini, dan
sejarah hanya akan memotret dan mencatatnya. Tidak
lebih.
Peramalan, dalam situasi
tidak normal, tentulah tidak sepenuhnya
merupakan pekerjaan intuisi yang melahirkan
firasat. Kecukupan dan akurasi informasi tetap
akan menjadi faktor yang menentukan. Akan tetapi,
ia hanya menentukan di awal peramalan, ketika seorang
pahlawan sedang membangun kerangka pemahamannya
tentang situasi dan masa depan. Sisanya,
firasat akan menjadi referensi terakhir saat di mana
seseorang harus menentukan pilihan akhir.
Maka,
ketika Abu Bakar memutuskan untuk memerangi
orang-orang murtad, beliau menghadapi penolakan
dari semua sahabat Rasulullah saw. Dan yang paling
keras menolak adalah Umar Bin Khattab. Akan tetapi,
beliau tetap kukuh dengan keputusannya. Alasannya
sederhana: dengan firasatnya yang tajam, gerakan
murtad ini, walaupun hanya bermula dari penolakan
membayar zakat, akan menjadi cikal akan lepasnya
ikatan Islam, baik secara ideologi maupun struktural,
yang akan sangat membahayakan.
Ketika Umar terus
memintanya bersikap lebih lembut dengan
alasan persatuan dan
stabilitas setelah wafatnya Rasulullah
saw, beliau mengatakan. "Apakah ajaran Islam
akan berkurang padahal saya masih hidup ?"
Maka, Umar pun terdiam, kemudian berkata,
"Tampaknya Allah telah
melapangkan dadanya dengan ilham tertentu."
Ternyata Abu Bakar benar.
Jazirah Arab menjadi basis kekuatan
Islam setelah itu, karena sumber keretakan internal
telah dilenyapkan. Dengan demikian, firasat merupakan
simpul akhir dari keseluruhan kualitas kepribadian
kita, sekaligus merupakan "bantuan Allah" yang kemudian kita sebut,
"taufik" (sesuatu yang membuatnya
tepat).
No comments:
Post a Comment