Sebagai manusia,
setiap pahlawan pasti pernah dan akan
selalu pernah melakukan kesalahan. Dalam diri mereka, bukan cuma ada nalar dan nurani, tetapi juga ada naluri.
Dalam diri mereka, tidak hanya ada
akal dan iman, namun juga ada syahwat. Mereka bukan hanya memiliki
kekuatan, namun juga kelemahan.
Mereka tidak menjadi malaikat manakala mereka menjadi pahlawan; mereka hanya
menjadi sempurna
secara relatif sebagai manusia.
Laiknya sebuah
karya, demikian pula kesalahan: ada yang
besar dan ada juga yang kecil. Para pahlawan sejati itu pasti pernah
melakukan kesalahan, entah besar entah
kecil. Namun, seseorang sampai disebut pahlawan karena kebaikannya lebih
besar daripada kesalahannya; karena
kekuatannya lebih menonjol daripada kelemahannya.
Maka, kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh para pahlawan itu biasanya lebih banyak
yang kecil,
dan tidak sering terulang, serta umumnya tidak disengaja, kecuali kalau
itu menjadi sumber kelemahannya.
Sebenarnya,
kuantitas kesalahan tidaklah sepenting kategori kesalahan. Yang terakhir inilah
sebenarnya yang
menentukan peluang kepahlawanan seseorang. Kesalahan-kesalahan yang
dilakukan para pahlawan umumnya
tidak secara langsung menunjukkan karakter yang buruk, tetapi lebih
banyak pada tingkat kematangan
dalam profesi atau kepribadian yang dibentuk
oleh ilmu pengetahuan, pendidikan, pengalaman,
dan kesiapan dasarnya sebagai pahlawan. Kesalahan-kesalahan itu biasanya lebih
terkait pada masalah
strategi dan teknis. Kendati demikian, kedua jenis kesalahan
itu—kepribadian atau profesi, tidak boleh
bersifat fatal. Adapun ukuran kesalahan fatal itu adalah habisnya peluang
untuk memperbaikinya.
Misalnya, kesalahan fatal
yang dilakukan oleh seorang politisi
pada akhir karirnya sebagai politisi. Begitu pula tatkala seorang pebisnis,
di usia senjanya, melakukan kesalahan
fatal yang menghabiskan aset bisnisnya. Akan tetapi, kesalahan ijtihad
yang dilakukan oleh seorang ulama,
mungkin tidak akan mematikan namanya sebagai ulama. Andaikan ia
melakukan kesalahan akhlak, mungkin
hal itu lebih efektif mematikan peluangnya sebagai ulama.
Selain itu, ada pula
masalah efek kesalahan: kepada pribadi
atau kepada publik ?
Para pahlawan akan menutup
peluang kepahlawanannya manakala ia melakukan
kesalahan yang berefek kepada publik. Sebab, salah satu ukuran kepahlawanan adalah
manfaat publik
yang diberikan oleh pahlawan tersebut. Ketika Khalid bin Walid menikahi
janda Malik bin Nuwairah, Umar
bin Khathab meminta Abu Bakar untuk memecat Khalid. Malik bin Nuwairah
yang mengaku Nabi itu tewas dibunuh
Khalid pada Perang Riddah. Umar beralasan, Malik bin Nuwairah telah
mengucapkan syahadat, namun
Khalid tetap membunuhnya, kemudian malah menikahi jandanya.
Meski demikian, Abu
Bakar tidak mengabulkannya. Entah
karena Abu Bakar membenarkan ijtihad Khalid yang menganggap syahadat
itu hanya karena terdesak, atau
karena alasan lain. Yang pasti, seperti yang terlihat, efek kesalahan itu—jika itu
bisa disebut kesalahan— tidak
sampai kepada publik.
Di balik itu semua,
yang jauh lebih penting dalam perspektif
Islam adalah semangat bertaubat secara konstan. Sebab, taubat hakikatnya adalah
proses perbaikan diri
secara berkelanjutan. Dengan taubat itulah, seorang pahlawan mukmin
sejati mengubah setiap kesalahan
menjadi pelajaran mahal bagi kelanjutan langkah-langkah kepahlawanannya.
No comments:
Post a Comment