Para pahlawan mukmin sejati
selalu mengetahui kadar kepahlawanan dri setiap perbuatan dan karyanya. Mereka
tidak biasa membesarkanbesarkan nilai perbuatan dan karya mereka jika kadar kepahlawanan
dalam perbuatan dan karyanya itu secara objektif memang tidak ada atau sedikit.
Demikian pula sebaliknya.
Mereka juga mengetahui
letak sisi kepahlawanan mereka. Sebab, tidak ada orang yang bisa menjadi pahlawan
dalam segala hal. Maka, mereka menempatkan diri pada sisi dimana mereka bisa
menjadi pahlawan. Mereka tidak akan pemah memaksakan kehendak dan juga tidak
akan pernah melawan kodrat mereka. Mereka yang merasa hanya bisa menjadi pahlawan
dalam perang, tidak akan pernah memaksakan diri menjadi pahlawan dalam medan
ilmu pengetahuan. Menilai diri sendiri adalah seni yang paling rumit dari
sekian banyak keterampilan jiwa yang harus dimiliki seorang pahlawan. Sebab,
inilah saat-saat yang paling menentukan sejarah kepahlawanan mereka, sekaligus
menentukan jalan masuk mereka kepada sejarah sebagai pahlawan.
Seni ini dimulai dari
pengamatan yang mendalam tentang peta diri sendiri. Setelah itu, berlanjut pada
penemuan letak kepahlawanan mereka. Sampai di tahap ini, seni itu belum terlalu
rumit. Seni itu akan menjadi rumit manakala memasuki penilaian tentang karya
dan perbuatan mereka. Sebab, setiap manusia mempunyai kecenderungan untuk
membesarkan dirinya sendiri melampaui kadar yang sebenamya. Karenanya, letak kerumitan
dari seni penilaian ini ada pada pertarungan antara kecenderungan membesarkan
diri sendiri dengan keharusan hersikap objektif yang sudah menjadi sifat sejarah
yang niscaya dalam menilai para pahlawan.
Inilah pertarungan antara
megalomania dengan objektivitas. Simaklah firman Allah tentang kecenderungan ini,
"Janganlah sekali-kali kamu menyangka bahwa orang-orang yang gembira
dengan apa yang mereka kerjakan dan mereka suka akan supaya dipuji terhadap
perbuatan yang belum mereka kerjakan; janganlah kamu menyangka bahwa mereka
terlepas dan siksa, dan bagi mereka siksaan yang pedih. "(Ali Imran: 188).
Para ilmuwan mengalami
pertarungan ini, ketika mereka menilai manakah dari karya-karya mereka yang paling
monumental dan dimanakah letak kedudukan karya-karya ilmiah mereka itu
dihadapan para ilmuwan lain yang sejenis. Para sastrawan mengalami pertarungan ini,
ketika mereka menilai manakah karya-karya sastra mereka yang paling abadi dan
di manakah letak kedudukan karya sastra itu di antara karya-karya para
sastrawan lainnya? Para pemimpin perang juga mengalami pertarungan ini, ketika
menilai manakah pertarungan yang telah dimenangkannya yang paling monumental,
dan dimanakah letak kehebatannya, jika dibanding kehebatan para pemimpin perang
lainnya dalam jenis-jenis perang yang mereka menangkan? Para pemimpin politik
dan dakwah juga mengalami pertarungan ini ketika mereka menilai jejak-jejak
kepemimpinan mereka tentang di manakah letak kehebatannya dan seperti apa nilai
kehebatan itu dibanding jejak-jejak para pemimpin lain dalam bidang politik dan
dakwah?
Mempertahankan objektifitas
di depan godaan megalomania adalah pekerjaan jiwa yang paling rumit yang
senantiasa akan dirasakan oleh para pahlawan. Cobalah simak cara seorang
Khalifah dari Zaman Abbasiyah menilai dirinya, "Saya tidak akan pernah bangga
pada setiap prestasi yang saya capai, tapi sebenarnya tidak saya rencanakan. Tapi
saya juga tidak akan pernah menyesali setiap kegagalan yang saya alami, selama
saya sudah merencanakan semuanya dengan baik sebelum melakukannya."
No comments:
Post a Comment