Dalam sajak Aku, Chairil
Anwar mengungkap sebuah
obsesi tentang nafas dan stamina kehidupan,
vitalitas, dinamika, dan yang jauh lebih
penting: perlawanan. Dia ingin melawan ketidakmungkinan; dia ingin menembus masa; dia ingin mengabadi, maka dia berkata, "Aku
mau hidup seribu tahun
lagi." Akan tetapi,
beberapa saat menjelang wafatnya, Chairil
Anwar ternyata menyerah. Sakitnya parah. Ia mati
muda. Namun, sebelumnya dia berkata, "Hidup hanya
menunda kekalahan."
Seorang pahlawan boleh
salah, boleh gagal, boleh tertimpa
musibah. Akan tetapi, dia tidak boleh kalah. Dia tidak
boleh menyerah kepada kelemahannya; dia tidak boleh
menyerah kepada tantangannya; dia tidak boleh menyerah
kepada keterbatasannya. Dia harus tetap melawan,
menembus gelap, supaya dia bisa menjemput fajar.
Sebab, kepahlawanan adalah piala yang direbut, bukan
kado yang dihadiahkan.
Di bawah godaan
keterbatasan dan kelemahan, di bawah
tekanan realitas tantangan yang sering terlihat seperti
kabut tebal dari ketidakmungkinan, semangat perlawanan
seorang pahlawan teruji. Maka, di alam jiwa individu,
selalu ada yang kalah, lain ia menjadi pengkhianat: sebab dia mengkhianati cita-citanya.
Maka, dalam sejarah sebuah bangsa, selalu ada
noda yang diteteskan oleh
pengkhianatan: ketika mereka menyerah kepada
kodrat mereka sebagai bangsa yang lemah; ketika
mereka merasa bangga bernaung di bawah ketiak bangsa-bangsa
lain; ketika sekelompok pengkhianat dari bangsa
itu melepaskan diri dari identitas dan harga diri bangsa,
lalu menjual bangsanya, semata karena mereka kehilangan
kepercayaan untuk melawan.
Perlawanan bukanlah
keberanian, walaupun ia merupakan bagiannya
yang terpenting. Keberanian adalah anugerah.
Akan tetapi, perlawanan adalah keharusan. Ketika
Hekmatyar bersama tiga puluh orang Mujahidin Afghanistan
dikepung tentara Uni Soviet, mereka memutuskan untuk
tidak menyerah. Mereka
tidak mau sia-sia. Mereka harus melawan tank-tank
sadis itu, walaupun hanya dengan batu. Jihad pun
dimulai, sampai empat belas tahun kemudian mereka
menang, walaupun dengan dua juta syuhada. Uni
Soviet pun runtuh. Begitulah
sejarah kepahlawanan ditulis dari perlawanan. Satu
setengah juta orang Aljazair syahid untuk melawan
penjajah Perancis. Adapun Bangsa Indonesia mengusir
penjajah Belanda dan Jepang hanya dengan bambu
runcing.
Akan tetapi, perlawanan
bukanlah kenekatan. Tidak ada
pertentangan antara perlawanan dengan realisme yang
mengharuskan kita mempertimbangkan
semua aspek secara utuh. Perlawanan adalah
ruh dan jasadnya adalah
realisme. Maka, ketika ruh itu hilang dalam diri kita,
segeralah membuat keranda jenazah untuk mengubur
mimpi kepahlawanan.
No comments:
Post a Comment